Ahlan wa sahlan...

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Sabtu, 07 Juli 2012

Dakwah ini mengajariku banyak hal....

Dakwah ini mengajariku banyak hal. Itu yang pertama terlintas dibenak. Hmm... sepertinya bahasan kali ini berat nih. Hehe. :p

Percakapan yang lumayan panjang malam itu dengan seorang sahabat, membuatku mau tak mau mengingat kembali awal mula perjalanan panjang ini. Saat itu setelah percakapan kami berakhir, ia—via SMS--masih sempat menyuruhku beristirahat. Tapi ternyata tubuh ini masih menyimpan resahnya sendiri. Alih-alih istirahat saya malah menulis. Walau malam sudah mencapai separuhnya tapi mata ini tak jua bisa diajak kompromi.

Orang tua saya memberi nama Rahmi Dwi Hastuti. Tapi ternyata orang-orang di catatan sipil kreatif sekali. Saya yang waktu SD bangga dengan tiga akhiran i di belakang nama saya harus merelakan kata terakhir dari nama saya berakhiran y. Sempat protes juga pada Ibu kenapa saya yang lahir di bulan Mei harus menuliskan Juni di bulan lahir saya untuk pengisian biodata. Kesalahan akta kelahiran yang dibuat di capil. Sekarang jika ada yang bertanya tanggal lahir dengan iseng saya malah balik nanya, “Mau yang asli apa yang palsu?” Yang bertanya bengong mendengar pertanyaan saya. Hehe...

Saya lahir dengan embel-embel suku komering. Suku yang bagi banyak orang di Indonesia ini lekat dengan masalah kriminal. Banyak preman-preman di kota-kota besar dengan suku ini. Sisi positifnya jika bepergian keluar Sumatera Selatan, menggunakan bahasa Palembang atau bahasa komering biasanya aman dari aksi kriminal. Hihihi... Negatifnya orang-orang takut dengan kita, disangkanya bagian dari kawanan kriminal itu. Hadeeeh. Yah ada positif negatifnyalah.

Saya sempat menahan tawa dan terlihat aneh karena senyum-senyum sendiri, melihat seorang teman dalam perjalanan menuju Lampung. Saat itu kereta yang kami tumpangi berhenti di stasiun Martapura. Saat berhenti itu masuklah pengamen. Mendengar mereka bernyanyi sontak teman saya itu menarik kedua tangannya, dimasukkan ke dalam jilbab. Ia secara refleks menutup kedua telinganya dengan tangan. Setelah pengamen itu pergi, sambil geleng-geleng teman saya bilang, “Aih parah... nyanyi apa ngajak berantem sih pengamen tadi?” Tawa saya langsung meledak saat itu juga. Dengan senyum dikulum saya kemudian berkomentar, “Ya beginilah Martapura, yang kalian kira marah itu, sebenarnya mereka hanya ngobrol.”

Itulah mengapa saat pertama kali diterima di Unsri, saya sempat mengalami syok juga. Teman-teman dan kakak tingkat sibuk protes dan mengkritik nada suara saya yang katanya ‘terlalu tinggi’. Yang buat saya heran, kok teman-teman di Martapura gak ada yang protes dengan yang ‘terlalu tinggi’ itu. Seorang sahabat dengan bijak mengatakan, “Beda Mi. Di sana mungkin nada yang seperti itu dianggap biasa. Tapi di sini jadi luar biasa.” Dalam hati saya bilang, “Bisa jadi...”

Seorang teman yang juga dari Martapura pernah bilang begini, “Nah wong Martapura ni apalagi komering ga marah aja dikira marah. Apalagi marah jangan-jangan dikira mau bunuh orang.” Saya cekikikan mendengar komennya.

Bukan saya ingin membela suku sendiri sih. Saya lahir dan besar di Martapura. Baru merantau saat masuk kuliah. Notabenenya delapan belas tahun saya habiskan di Martapura. Kultur yang seperti itu sudah seperti mengakar di diri saya. Dan ternyata gak cuma saya yang seperti itu. Tengoklah saat anggota Himpunan Mahasiswa Martapura berkumpul kadang kala yang datang baru 3 orang tapi suaranya sudah hampir mencapai 10 orang. :)

Kadang kala saat ingin memperjelas sesuatu karena ada beberapa teman yang tak mendengar, saya mengeraskan suara. Teman saya langsung komen, “Iya tau. Gak usah marah-marah kale.” Jreeeeenggggg... saya langsung diem. Dalam hati saya nih, “Yah... salah lagi. Padahal niatnya mau bantu.” T.T

Saya jadi berpikir apa saya sebegitu buruknya? Akhirnya saya mengambil kesimpulan sendiri. Berarti masih ada dalam diri yang membuat saudara-saudara saya ini tak nyaman untuk berdekatan. Masih banyak perbuatan dan lisan ini yang menyakiti mereka, dan ternyata itu saya lakukan entah dengan sengaja atau pun tidak disengaja. Untuk semua yang pernah tersakiti hatinya oleh saya, saya memohon kemaafan dari kalian. :)

Lalu apa hubungannya dengan judul di atas?

Sejak saya bergabung di jalan dakwah ini membuat saya banyak berubah. Jika ditilik dari awal mula bergabung hingga sekarang, saya tak pernah menyangka akan berubah sampai sejauh ini. Perubahan itu signifikan sekali.

Pertama kali dapat penilaian dari orang lain hasilnya negatif. Terlalu banyak buruknya dari pada baiknya. Kertas hasil penilaian mereka yang banyak nilai merahnya untuk saya itu masih saya simpan hingga dua tahun yang lalu. Masih suka saya baca-baca untuk muhasabah. Dua tahun lalu seorang teman yang meminjam catatan saya menghilangkannya.

Dari itu mencoba introspeksi lagi, oh ternyata saya begini. Dan hal yang sampai sekarang masih sulit saya kendalikan adalah nada bicara saya. Masih ‘terlalu tinggi’ untuk ukuran saudara-saudara saya itu. Jika saya pulang ke Martapura dan naik angkot, nada suara saya yang sekarang gak cukup untuk bikin sopir angkot menghentikan laju mobilnya, alias gak denger saya minta berhenti. Atau paling tidak membuat Ibu harus mengulang panggilannya sekali lagi, karena tak mendengar saya menjawab panggilannya. Hehe...

Pernah terlintas dalam benak saya untuk jadi seperti mbak-mbak senior saya di kampus. Anggun dengan jilbabnya, lembut dan tampak tenang. Saya pernah mencoba seperti itu. Hasilnya saya merasa seperti membohongi diri sendiri. Saya merasa ada bagian dari diri saya yang hilang. Ini bukan wujud pembelaan diri karena tak mau berubah kearah yang lebih baik. Bukan. Sama sekali bukan. Saya hanya merasa itu bukan saya.

Akhirnya saya bukan berubah untuk jadi seperti mbak itu atau mbak ini. Saya mencoba untuk jadi saya sendiri, dengan catatan ya sisi negatif saya dihilangkan atau paling tidak diminimalisir. Saya ketawa sendiri mengingat sebuah buku yang pernah saya baca. Pengennya ngomong kayak gitu. Cuma kesannya kok kayak gak mau berubah ya. Hehe... Nih saya kutip tulisannya—dengan editan versi saya lho ini. “Ami ya begini ini, nerima syukur, nggak terima kebangetan.” #korban buku Parcel Mini La Tansa. Hihihi...

Kebersamaan ini mengajari saya banyak hal. Mengajari saya untuk lebih peka, lebih peduli dan lebih memahami. Mengajari saya meminta maaf atas kesalahan yang dibuat. Mengajari memaafkan saudara yang bersalah karena mereka bukan malaikat yang gak pernah salah. Kebersamaan ini mengajari saya mempelajari karakteristik mereka satu per satu, belajar dari mereka walaupun mereka tanpa sadar ngajarinnya ke saya. Mengajari untuk setiap hari berproses menjadi lebih baik lagi. Walau pun karakter saya yang galak itu agak sulit saya ubah. Mau bantu saya untuk berubah? Hehehe...

Saya terkenang dengan kisah antara Abu Dzar dan Bilal bin Rabah. Seperti yang dituliskan oleh Salim A. Fillah, di buku Dalam Dekapan Ukhuwah. “Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditunjukkan ke wajah kita seperti apa yang dilakukan Rasulullah saw kepada Abu Dzar. Lalu sebuah kesadaran menyentak, “Engkau! Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!”

Saya sadar masih banyak kekurangan saya. Mungkin masih banyak saudara-saudara di kehidupan ini yang belum mendapatkan perlakuan yang selayaknya dari saya. Mungkin masih banyak yang mengeluhkan sikap dan lisan saya.

Saya sadari itu. Dan saya membayangkan, pun jika Rasulullah saw di depan saya sekarang, pasti lisan yang mulia itu juga akan berucap hal yang sama. Sama seperti ucapan yang beliau tujukan untuk Abu Dzar. “Engkau! Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!”

Untuk saudara-saudaraku yang sempat bahkan sering terlukai hatinya karena lisan dan perbuatan saya, tolong maafkan saya. ^_^


Hijau 12, 01.25

Rahmi Dwi Hastuty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar