Ahlan wa sahlan...

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Sabtu, 19 Maret 2011

Belajar dari seekor ngengat


Pagi kemarin saat saya hendak mengangkat jemuran, di salah satu baju yang dijemur ada seekor ngengat. Badannya besar sih. Saya suka melihatnya, namun sedikit takut untuk menyentuhnya. Akhirnya saya biarkan saja ngengat itu hinggap di salah satu baju. Sayangnya, kamera saya sedang dipakai adik. Saya pun harus menunda untuk mengabadikan ngengat tersebut.

“Wah, kupu-kupunya besar banget!” seru Dita--salah satu teman kos saya—saat melihat sang ngengat.

Seruan itu terdengar hingga ke kamar saya, yang kebetulan bersebelahan dengan tempat jemuran pakaian. “Bukan kupu-kupu, Ta. Itu ngengat. Memang bentuknya mirip kupu-kupu.”

“Ohh.. Tapi serem ya mbak liatnya.”

Saya ketawa saja.

Sore harinya saya mencoba memberanikan diri menyentuh si ngengat. Ia sih diam saja saat saya pegang sayapnya. (ya iyalah wong sayapnya saya kepit pake tangan, wajar dong kalo si ngengat nggak bisa gerak-gerak. Hihihi…)

Pagi ini saya kembali mencari sang ngengat di belakang. Ternyata ia masih ada di sana. Hinggap di papan penutup sumur. Akhirnya ngengat itu saya bawa masuk kamar, dan meletakkannya di gorden kamar. Lama saya pandangi, cantiknya… Sulurnya mirip daun hehehe.

Krrreeekkkk…

Saya menajamkan pendengaran. Ada yang membuka pagar rumah. Saya beranjak ke ruang tamu. Ternyata Tika. Oh iya Tika ini salah satu dari lima teman sekos saya. Saya langsung meminjam ponselnya untuk mengabadikan si ngengat. Akhirnya berhasil! Satu foto ngengat sudah didapat. Nantilah kalo mau nambah fotonya. Yang penting itu sudah ada satu. Hehehe.

Tika bertanya pada saya saat melihat foto itu, “Dapat kupu-kupu darimana Mbak?”

“Bukan kupu-kupu, tapi ngengat. Cantikkan?”

“Iya, tapi dapat darimana fotonya?”

“Ini,” ujar saya sambil mengangsurkan si ngengat yang hinggap di tangan saya—tepatnya saya yang meletakkannya di sana. “Kasihan ya ngengat ini. Lahir hanya untuk mati.” Desah saya sembari mengamati ngengat di tangan.

Kemudian saya memindahkan ngengat tersebut di tempat lain. Kasihan dia jika harus hinggap terus-terusan di tangan saya. Bisa-bisa ia ikut mandi juga bareng sama saya. Hehehe. Setelah meletakkan ngengat itu, ucapan saya yang terakhir terngiang kembali, “Kasihan ya ngengat ini. Lahir hanya untuk mati”.

Ya, saya pernah menonton suatu acara di salah satu televisi swasta yang menayangkan pengetahuan mengenai hewan-hewan darat. Saat itu yang dibahas adalah mengenai hewan yang bermetamorfosa. Salah satunya ya ngengat. Ngengat tidak punya mulut untuk makan. Jadi, tak berapa lama dari kelahirannya maka ngengat akan mati. Karena tidak ada asupan pangan. Dan, karena teringat dengan hal itulah makanya saya bilang kasihan, karena lahir hanya untuk mati.

Kemudian saya pikir-pikir lagi dengan lebih matang dan mendalam. (cieee…) Bukankah manusia setelah lahir juga akan mati? Ya, namanya juga makhluk hidup, pasti bakal mati lah. Betul tidak??? Terus apa bedanya saya sama ngengat itu? Ujung-ujungnya juga bakal mati kan? Lha kenapa saya harus kasihan sama si ngengat ya??? Nah, nah, nah, saya mulai bingung nih!

Kalo dipikir-pikir lagi harusnya ngengat itu yang mengasihani saya kali ya? Mungkin kalo bisa ngomong si ngengat bakal ngomong kayak gini, “Kok ngasihani saya sih Mbak? Bukannya situ yang harusnya dikasihani? Kalo saya mati, ya mati aja Mbak. Lha situ kalo sudah mati masih diminta pertanggungjawabankan? Iya kalo dapat enak di surga, lha kalo masuh neraka? Susah sendirikan? Menderita lho Mbak. Itu belum disiksa di kubur tuh… Hiiii, kalo saya sih nggak kuaaaatttt!!! Si Mbaknya kuat nggak? Hayoooo????”

Jadi, kenapa saya harus mengasihani si ngengat? Entahlah… kadang kala kita mengukur segala sesuatunya berdasarkan diri kita. Mengukur orang lain berdasarkan baju kita. Jadinya bakal ada yang kekecilan, ada yang kebesaran dan ada juga yang pas. Sehingga kayaknya yang kata kita aneh bakal ditendang jauh-jauh deh. Padahal setiap orang bahkan setiap makhluk memiliki caranya sendiri untuk bertasbih pada Tuhannya. Ya kan?

Saya merenungkan kembali semua ini, sembari memperhatikan sang ngengat yang masih hinggap di jilbab putih saya. Hmmm… Mungkin karena ini pula makanya ayat Al Qur’an yang pertama turun adalah iqra. Bacalah. Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Menciptakan. Bukan hanya membaca buku-buku pengetahuan tapi juga membaca alam ini. mengambil pelajaran dari tiap-tipa kejadian. Ah, untuk hal ini banyak buku yang membahasnya. Silahkan mencarinya lewat referensi yang lebih mendalam.

Bukankah Allah menciptakan segala sesuatunya sudah berdasarkan porsi yang seharusnya? Untuk menjadi pelajaran juga bagi manusia, ya kan?

Hari ini saya belajar dari ngengat. Dari seekor ngengat. Bahwa ada ketundukan di sana. Ketundukan atas takdir yang diberikan Allah. Ngengat tidak berusaha protes apalagi unjuk rasa besar-besaran kepada Allah karena tak punya mulut. Yang karena kekurangannya itu ia hanya hidup dalam hitungan hari. Ia menerima takdirnya. Toh ia lahir dengan tidak sia-sia. Ia lahir dan dewasa untuk meneruskan keturunannya. Setelah bertelur ia akan mati. Kemudian akan lahir ngengat lainnya dan kembali bertelur untuk melestarikan jenisnya.

Dan, manusia walaupun dianugerahi Allah dengan segala kelebihannya masih saja tak mau tunduk sujud pada Rabb-nya. Masih saja melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Saya tidak bicara mengenai orang-orang diluar sana. Saya bicara mengenai diri saya. Saya bukan malaikat yang tak pernah melakukan maksiat. Jika malaikat diletakkan di tempat maksiat pun ia tak akan melakukan kemaksiatan. Saya pun—sering kali—melakukan kesalahan yang saya sesali di kemudiannya.

Saya juga masih saja mengeluhkan segala sesuatu yang tak sesuai dengan harapan saya. Padahal ngengat kecil itu tidak pernah mengeluh tentang keadaan dirinya ke Allah. Lalu kenapa saya bisa kalah dari seekor ngengat??

Semua anugerah yang dilimpahkan Allah saya lupakan begitu saja hanya karena keluhan gak penting itu. Saya tak pernah mengerti bahasa ngengat, namun Rasulullah yang mulia itu menjelaskan bahwa setiap makhluk hidup bertasbih kepada Allah dengan caranya masing-masing. Mungkin ini cara ngengat bertasbih kepada Allah, dengan menerima setiap ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Bersyukur bahwa lewat dia akan ada generasi penerus dari jenisnya.

Saya jelas harus banyak belajar lagi. Belajar ikhlas akan semua ketentuan yang Allah gariskan untuk saya. Belajar untuk menerima walaupun berat. Ngengat kecil itu saja tidak mengeluh, lalu kenapa saya yang notabenenya makhluk yang diciptakan lebih sempurna dari makhluk lain harus mengeluh? Saya tak mau kalah dari ngengat kecil itu. Tak mau.

Terima kasih untuk pelajaran hari ini, wahai ngengat coklat yang cantik. Terima kasih….

Sarjana, B.18
19 Maret 2011

"radisty badar"