Ahlan wa sahlan...

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Kamis, 16 Desember 2010

“Hari Ini Kulepaskan Kau dari Hatiku”

“Hari Ini Kulepaskan Kau dari Hatiku”

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, fatamorgana dalam gurun pasir hatiku. Seseorang yang datang kemudian pergi dengan meninggalkan jejak. Kau tahu, sampai hari ini aku belum mampu menghapus jejakmu dengan sempurna. Terus melangkah maju tapi tetap tak mampu melepaskan harapan bodohku untuk bersamamu. Jika ada pemilihan predikat manusia bodoh, kurasa aku yang akan mendapatkan predikat rangking satu. Aku bertahan hanya dengan kemungkinan 0,1 % saja. Tapi, hari ini aku belajar untuk melupakanmu.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, satu nama yang terlukis jelas dalam prasasti hatiku. Satu nama yang selalu membuatku kagum akan kepribadiannya, kesetiaannya, perjuangannya dan pengorbanannya. Kau baik dimata teman-temanmu, ramah dan mudah berteman dengan orang. Jika kau tanya padaku sejak kapan aku merasakan getaran-getaran senandung lagu cinta, sejak aku mendengar namamu dan kebaikanmu dari teman baikmu yang selalu kau tolong tanpa meminta imbalan apapun. Aku merasakannya tanpa tahu seperti apa sosokmu, yang kutahu akhlakmu baik, dan yang terpenting agamamu pun tak diragukan. Aku menganggumimu jauh sebelum aku bertemu denganmu dan tak pernah berharap lebih. Namun takdir membukakan jalan untukku. Hari itu, kita bertemu.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, kau yang pernah memintaku menjadi penyempurna separuh dienmu, pendamping hidup, penentram jiwamu. Aku tak bermaksud menyakiti hati siapapun, aku hanya tak pandai mengutarakan isi hatiku dengan sempurna. Maaf, aku benar-benar tidak bisa membuatmu menunggguku, tanpa pernah ku tahu kapan mampu ku akhiri. Jiwaku hampir mati saat itu, badai, hujan, dan gelombang besar terus saja membuat laut hatiku terhempas. Maafkan aku, karena aku membuatmu sedih. Mungkin membuat goresan dalam hatimu yang putih. Maafkan aku karena tak bisa menjelaskan semua kesalahpahaman ini sebelum kau pergi menjauh dan menghilang, karena aku sedang berada dikota lain saat itu. Rasanya saat kau katakan takkan ada di kota saat aku pulang, hatiku menjerit ingin pulang dan bertemu denganmu untuk yang terakhir kalinya dan menjelaskan apa yang kurasa tapi dengan kebodohanku, aku memilih diam.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, bintang dalam gelapnya malamku. Diatas sajadah yang kubentang, disepertiga malam itu. Aku bertemu dengan-Nya, sang pemilik hatiku. Aku menangis, sedu sedan sendiri. Aku mengadukan hatiku yang resah karena rasa yang ada dalam hatiku kepadamu, meminta Allah berkenan memberikanku petunjuk dalam mengendalikan rasa cintaku agar tak melebihi cintaku kepada-NYA.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, satu nama yang berkata akan setia jika aku memintamu untuk menunggguku. Kulepaskan semua angan-angan indahku dan keyakinanku jika kau masih setia sampai saat ini walau aku tak memintamu untuk menungguku.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, dengan kekecewaan dalam hatiku. Setelah kepergianmu, dalam diamku aku mempersiapkan segalanya. Segera menyelesaikan study, dan meminta restu kedua orang tuaku, dan setelah semuanya kudapatkan. Aku sudah terlambat.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, dengan hujan yang terus turun dalam hatiku. Setelah aku mendengar kini kau telah memilih hati yang lain dan meletakkannya disampingmu selalu. Kau yang membawa hatiku pergi dengan kepergianmu. Kau yang kufikir tetap menjaga rasa itu. Rasa yang mungkin kini hanya aku yang memiliki. Akhirnya cinta yang kujaga, pecah seribu berserakan begitu saja.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, dengan senyuman. Senyum tulus dari dasar hatiku. Semoga kau bahagia dan aku tak kan pernah datang dan mengabarkan hal ini padamu. Bahwa aku tak pernah melupakanmu dan kaulah yang selalu ada dalam ingatanku. Aku tak ingin membuatmu bimbang. Aku ingin kau setia padanya, menjaga cintamu. Bukankah kau berkata padaku, jika cinta tak harus memiliki dan jika cinta itu menyakiti hati sang kekasih kenapa harus egois untuk tetap menggenggamnya erat dalam dekapan cintamu. Biarkan cintamu bebas memilih, jika dia bahagia. Karena belum tentu jika bersamaku, cintaku bisa mendapatkan kebahagiaan.

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, karena aku ingin melangkah maju menuju kebahagiaanku sendiri. Terimakasih, karena kini aku telah belajar tentang kesetiaan dan pengorbanan. Terimakasih, untuk telah mematahkan hatiku dengan sempurna, karena dengan begitu aku belajar untuk bangkit dari kekecewaan dan keterpurukan dan mampu mengendallikan diriku sendiri. Terimakasih, untuk sejenak kau hadirkan kisah cinta yang tak harus memiliki dalam hidupku. Dan sekarang saat kau baca tulisanku ini, tersenyumlah! Tersenyumlah karena sekarang kau tak perlu khawatir tentang keadaanku. Karena aku baik-baik saja!

Hari ini kulepaskan kau dari hatiku, sebab semua terjadi karena satu alasan. Dan aku yakin Allah akan menggantikanmu dengan yang lebih baik setelah ini.

(By: Rika Z. Putri)

Tulisan ini kudapatkan dari FB adik tingkat yang diikutkan dalam sebuah kompetisi penulisan. Dengan izin beliau pula, aku mem-posting-nya. Kenapa kupilih ini untuk posting-an blog? Sengaja, sebagai ajang muhasabah untukku dan untukmu. Mengoreksi lagi niat-niat yang mungkin terkotori. Niat melakukan sesuatu karena dia, bukan Dia.

“Sekali-kali batu karang yang raksasa pun mampu pecah karena kemarahan ombak. Maka tak mungkin jika sekerat hati tak pernah retak atau patah, padahal telah banyak yang membenturnya.”
(Birunya Langit Cinta, Azzura Dayana)

Dan, kini aku pun memilih untuk melepasmu. Membiarkanmu terbang jauh dari hatiku. Walaupun harus tertatih-tatih ‘kan kutata hati ini lagi. Biarlah begini…. Hingga aku benar-benar bisa melepasmu pergi. Membuang semua mimpi yang mungkin tak pernah terealisasi. Suatu saat aku akan sembuh dari lukaku ini. Pasti.

Semua yang pernah terjadi, biarlah menjadi sebuah histori. Semua rasa yang tak pernah terungkap secara nyata diantara kita. Walaupun kau dan aku sama-sama tahu apa yang kita rasa. Percayalah aku akan baik-baik saja. Kaupun juga akan baik-baik saja. Ini jalan terbaik untuk kita.

Aku tak inginkan pembenaran dari semua salahku. Hatiku memang bukanlah batu karang, tapi ia pun mampu untuk lebih tegar. Dan aku yakin semua akan berlalu seiring bergantinya sang waktu….

Mewangi Bunga Dunia (Tazakka)

Dunia…
Indah diciptakan menawan hati
Kadang menggoda
Jelita dipandang
Terasa harum semerbak,
Mewangi bunga dunia

Mencinta tiada akhirnya
Merindu menjadi pilu
Mendamba entah pastinya
Terlena hamba sembilu

Wahai diri berapa lama lagi?
Kau terus begini terus mengkhianati
Kapankah lagi engkau kan kembali?
Berserah diri setulus sepenuh hati..

Tundukkan pandangan mata dan hatiku
Dari gemerlap dunia yang palsu memperdaya jiwa.
Ku memohon kepada-Mu Ya Rabbi…
Selamatkanlah duniaku
Dan akhiratku yang pasti.

Jangan cintakan ku padanya duniawi
Ampuni dosa khilafku
Di masa laluku, kini dan nanti

Yui in Memoriam....


Tadi malam saat sedang asyik bercanda dengan Pipit dan Tika, ponselku berdering. Dua SMS masuk, yang pertama dari Ibu dan yang kedua dari Yuk Ary. Kedua-duanya mengabarkan berita yang sama. Kucingku, si Yui mati. Dianiaya macan akar. Bapak yang melihat langsung “pelaku penganiayaan” itu.

Mendengar berita itu sedih memang. Yui itu kucingku, karena yang memberi nama Yui adalah aku. Umurnya sekitar empat tahun (dalam hitungan manusia). Aku yang meminta untuk memberi nama pada salah satu anaknya Coreng. Dan, ia kuberi nama Yui. Padahal aku belum pernah melihat bagaimana rupanya. Yui lahir saat aku masih di Inderalaya.

Dia kucing terunik yang pernah kami punya. Kedua kaki depannya agak bengkok dan lebih pendek dari kaki belakang. Disitulah lucunya Yui. Cara berjalannya menyesuaikan dengan kaki-kakinya yang pendek.

Yui dengan gayanya yang seperti itu, sangat lucu untuk di foto. Dia objek pertama yang akan jadi bahan jeprat jepret kami.

Jika kucing lain mengeong minta makan. Kami kurang percaya. Karena kucing-kucing itu lapar nggak lapar maka mereka akan dengan semangat mengeong minta makan. Lain cerita jika Yui yang mengeong sambil memandang kami. Maka kami akan segera memberi makan kucing peliharaan kami. Yui itu tipe kucing yang jarang mengeong. Jika ia sudah ikut-ikutan mengeong, berarti dia sudah sangat lapar.

Yui bahkan nggak makan minum jika sudah tidur di kamar. Jika pagi hari ia masuk untuk tidur di kamar, maka sorenya baru keluar kamar. Itupun diusir oleh yang empunya kamar. Hehehe.
Yui, yang paling banyak mengundang perhatian saudara-saudara dan tamu yang berkunjung ke rumah, karena keanehannya. Yui yang selalu sembunyi jika di rumah sedang ramai teman-teman yang berkunjung.

Warna abu-abu, kuning dan hitam. Itu warna bulu Yui.



Yui dengan segala keunikan yang ada di dirinya. Menjadi berbeda dengan Mamang, Endut, Bella ataupun Cat. Aku tak pernah sesedih ini saat mendengar kabar Abang mati. Karena aku tahu Abang sudah lama sakit. Yui sehat. Sangat sehat. Dan juga pemberani. Hingga kami menjulukinya kepala suku kucing.

Saat kembali ke Inderalaya ba’da ied adha, aku tak sempat berpamitan padanya. Kebiasaanku sebelum pulang adalah menyempatkan diri memeluk kucingku satu persatu. Yang ketemu hanya Endut, Cat dan Bella. Yui nggak ada di rumaa, biasanya jam segitu Yui sedang main ke tempat Edi. Numpang tidur dan makan di rumah Edi. Hehehe.

Yui mungkin dikuburkan pagi ini. Selamat jalan, sayang…. Tidurlah dengan tenang.
Percayalah, Yui akan selalu ada dihati ini. Kau bukan hanya sekedar indah. Kau tak akan terganti. Aku mengikhlaskanmu pergi. Ini yang terbaik untukmu. Aku tak akan tega melihatmu kesakitan menahan perih karena luka-luka yang kau derita. Hari ini aku melepasmu pergi…. Walaupun tak kulihat wajah itu terakhir kali.

Pergilah…. Ini memang yang terbaik.

Aku tak akan menyalahkan siapa-siapa. Ini salah satu bagian ujian keikhlasan untukku. Karena setiap yang bernyawa tentu akan mati. innaalillaahi wa innaailaihi raajiuun. Selamat jalan, cinta….

Hari ini kulepas kau pergi. Pahit memang. Sedih. Iya. Masa indah bersamamu hanya akan tinggal kenangan. Foto-fotomu akan jadi pengobat rindu yang tak tersampaikan. Kita berada di dunia yang berbeda sekarang.

Selamat jalan, cinta… Yui….

(maaf kalau agak berlebihan.... ^_^)

Selasa, 14 Desember 2010

Skenario Indah Allah untukku

“Allah menyayangimu dengan cara-Nya. Kadang engkau merasa hidup tak adil. Engkau marah karena keadaan tidak berjalan sesuai dengan keinginanmu. Engkau kecewa atas apa yang terjadi dalam hidup. Engkau kadang mempertanyakan ke-Maha Agungan-Nya karena dunia tidak mengindahkanmu. Tapi percayalah teman, Allah sayang padamu. Dia mencintaimu dengan cara-Nya.”

Saya lupa tepatnya kapan SMS itu dikirim oleh teman saya. Harus diakui bahwa kadang kala saya juga mempertanyakan ke-Mahaan-Nya. Saya marah, sedih, kecewa karena merasa diperlakukan tak adil. Merasa layak untuk diperlakukan lebih dari itu. Astagfirullah… betapa saya telah berlaku ujub. Ya Allah, ampuni hamba…

Padahal nikmat Allah begitu banyak dicurahkan kepada saya. Dan saya jarang mensyukurinya. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?”

Allah memang menyayangi dengan cara-Nya. Saya mencoba mengingat kembali hal-hal yang telah terjadi. Ternyata skenario Allah untuk hidup saya itu indah. Sangat indah malah.

Saya memiliki keluarga yang luar biasa. Pertama kali memutuskan untuk mengenakan jilbab, tidak ada nada protes dari keluarga. Sedangkan teman saya ada yang ditentang keluarganya untuk memakai jilbab. Hingga saat kuliah, saya bergabung di tarbiyah, dan memutuskan untuk memperlebar jilbab saya. Keluarga saya juga tidak menentang.

Keluarga saya--terutama Ibu--yang menjadi garda terdepan dalam melindungi saya. Ya, melindungi. Melindungi dari serbuan keluarga besar yang menganggap aneh jilbab saya. Melindungi saya dari cercaan saudara saya yang lain karena menganggap jilbab saya kelebaran. (Padahal jika mereka memperhatikan lebih detail, maka mereka akan menemukan ada akhwat lain yang jilbabnya jauh lebih panjang dan lebar dari saya. Bahkan jilbab saya ini belum seberapa jika dibandingkan dengan jilbab mereka, hehehe). Serbuan dari berbagai pihak ini pernah membuat saya down dan hampir memperpendek jilbab saya. Alhamdulillah itu tidak terjadi. Hehehe.

Saya memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa pula. Sahabat yang menguatkan kala saya rapuh. Membantu berdiri kala saya jatuh. Saat saya butuh penguatan ada-ada saja yang mengirimi saya SMS tausiyah itu. Hampir selalu pas dengan kondisi saya saat itu. Alhamdulillah… Segala puji untuk-Mu, Ya Rabb….

“Tidaklah seorang hamba diberikan karunia yang paling baik keislamannya, melebihi saudara yang shalih. Bila dia lupa diingatkannya. Bila dalam kondisi sadar dengan ketaatan ia akan membantunya. Bila salah seorang kalian merasakan kasih sayang dari saudaranya, maka peganglah ia.” (Umar bin Khattab).

Ok, back to skenario indah itu. Maka tak ada lagi yang layak saya katakan selain syukur. Saya menemukan begitu banyak hal yang awalnya telah direncanakan, endingnya berbeda atau cara berlakunya yang berbeda. Walaupun ternyata itulah yang lebih saya butuhkan. Bahwa itulah yang menjadi pelajaran untuk saya.

Seperti kemarin saat itu selepas shalat zuhur di mushala perpustakaan pusat, saya melihat seseorang yang dari belakang mirip sahabat saya. Kenapa dari belakang? Karena posisinya saat itu sedang duduk membelakangi saya. Maka saya dekati. Ternyata benar sahabat saya.

Kami ngobrol sebentar dan memutuskan untuk makan siang di kantin kampus. Soalnya perut saya sudah “unjuk rasa” sejak tadi. Saya menunggunya shalat dulu, karena dia belum shalat. Setelah shalat kami naik satu lantai, ke ruang sirkulasi. Karena sahabat saya itu hendak meminjam buku, namun kartu perpus-nya ketinggalan. Hingga dia—karena begitu membutuhkan buku itu secepatnya—meminjam buku itu menggunakan kartu saya. Kebetulan saya memang tidak ada pinjaman di sana.

Nah, masalah terjadi saat hendak meminjam buku. Karena ternyata saya masih ada pinjaman. Padahal seingat saya semua buku yang dipinjam atas nama saya sudah semua dikembalikan—walaupun masih kena denda juga karena terlambat mengembalikan buku. Hehehe. Karena sudah hampir sebulan buku itu belum dikembalikan maka saya tidak diizinkan meminjam buku. O ow…

Di jalan menuju kantin, saya menelepon sahabat saya yang lainnya, yang kemarin meminjam buku menggunakan kartu saya. Katanya sudah semua dikembalikan. Bahkan sudah bayar denda pula. Nah lho, nggak mungkin sahabat saya ini berbohong. Kalau memang sudah dikembalikan kenapa kartu dari buku itu masih juga “nyangkut” di kartu saya? Siapa yang salah sebenarnya? Solusinya? Saya bingung. Akhirnya kami memutuskan untuk mengurusi masalah ini besok harinya.

Salah saya adalah tidak mengembalikan buku itu secara langsung. Saya karena ada satu dan lain hal memberikan kartu itu kepada sahabat saya, memintanya mengembalikan sendiri buku yang ia pinjam atas nama saya tersebut. Kemudian ia menyerahkan kartu itu. Selesai saya pikir. Karena jelas buku itu sudah dikembalikan. Kok malah jadi kayak gini??? Saya tambah bingung.

Besok harinya, setelah menyusun strategi—walaupun nggak yakin strategi itu berhasil—kami ke ruang sirkulasi. Strateginya adalah mencari lebih dahulu buku yang kemarin dipinjam. Logikanya jika kartu itu masih ada di kartu yang disimpan petugas perpus, maka tidak mungkin ada yang meminjam. Karena jelas kartunya tidak ada.

Lama kemudian sahabat saya menemukan buku itu. Ternyata kartunya ada. Kami berdua lemas. Bagaimana ini? sahabat saya berkata bahwa ia sudah searching, ternyata perpus hanya memiliki dua buku dengan judul ini, karena buku lama. Satunya yang kami pegang, lalu yang satunya lagi? Dipinjam orang lain?

Akhirnya masih ditengah kebingungan, sahabat saya menemukan buku yang pernah ia pinjam. Setelah meneliti buku itu dari kartu peminjaman, kami menemukan namanya. Setelah usut punya usut, meneliti lebih lanjut. Menganalisis lebih runut. (Kalau ingin diceritakan secara mendetail bakal panjang). Maka kami menyimpulkan kemungkinan itu kesalahan petugas perpus. Petugasnya lupa untuk mengembalikan kartu di kartu perpus saya ke buku tersebut. Karena pada hari itu ramai pengunjung perpus yang hendak mengembalikan buku.

Walaupun dengan ketidakyakinan, sahabat saya mencoba menghadap petugas dengan dalih hendak meminjam buku. Buku yang bermasalah itu. Walaupun kami jauh lebih tidak siap jika akhirnya didakwa dengan pasal penghilangan buku. Hahaha. Resiko mendapatkan cap buruk plus kena marah petugas. Waduh…. Pasrah. Hanya itu yang ada dalam pikiran kami saat itu. Kalau diminta ganti, yah terpaksa harus ganti. Walaupun itu judulnya “menzhalimi” kami. Jelas-jelas bukunya sudah dikembalikan kok.

Semula kami mengianggapnya begitu menakutkan, ternyata begitu mudah. Kakak petugas perpus begitu mudah diyakinkan dengan argumentasi yang memang telah lebih dahulu didiskusikan. Karena kami memang sebelumnya diskusi untuk meyakinkan bahwa itu bukunya! Tidak ada perang mulut. Perang argumentasi. Apalagi sampai pertumpahan darah, saudara-saudara. Halah, lebay banget!!

Rasa-rasanya kalau nggak malu, mau deh berdua jingkrak-jingkrakan. Saking senengnya. Hohoho. J. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.

Saya teringat kejadian sebelum idul adha. Saat itu saya sudah memutuskan untuk pulang ke rumah. Rencana sudah disusun dengan matang. Saya akan pulang hari jumat. Saat ibu menelepon dengan yakin saya mengatakan akan pulang hari jumat.

Hari H-nya. Saya terbangun pukul tiga, tepatnya tiga lewat berapa saya lupa. Saat itu hujan deras disertai petir. Bikin ngeri. Doa yang saya lantunkan setelah shalat seperti ini, “Ya Allah, jika Engkau ridhai perjalananku hari ini, tolong hentikan hujan ini.”

Hujannya memang reda tidak lama kemudian. Eh, menjelang subuh hujannya turun, lebih deras lagi. Saya hopeless. Wahhh, jangan-jangan nggak diridhoi. Jadi lemes. Jangan-jangan nggak diizinin pulang nih… hiks.. hiks.. T_T

Akhirnya doa saya bertambah menjadi, “Ya Allah, jika Engkau ridha maka tolong redakan hujan ini jam enam nanti.” Mengapa jam enam? Karena jam itu maksimal saya berangkat ke stasiun kertapati. Setengah enam alias 06.30, saya menatap hujan dari jendela. Masih deras plus mati lampu. Hrap-harap cemas. Mencoba menguatkan hati jika ternyata hujan masih juga deras jam enam nanti. Dan itu pertanda saya nggak bisa pulang kampung alias mulang tiuh.

Saya memutuskan untuk mandi dan mencuci baju. Walaupun dengan resiko tidak jadi berangkat. Mencoba tetap optimis. Ditambah dengan menyenandungkan doa itu berkali-kali. Hehehe. Hari sudah terang, hampir jam enam. Hujan masih turun. Saya makin kebat-kebit. Jadi nggak, jadi nggak. Pengen nangis…. Ibu, anakmu ini kayaknya nggak jadi pulang hari ini….

Alhamdulillah ternyata hujan reda, saudara-saudara! Jam enam, lewat dikitlah. Akhirnya saya berangkat. “Martapura, aku datang. Hohohoho” Berangkat dengan semangat 45. Walau akhirnya saya ternganga saat hendak melewati jalanan depan kompleks. Ada kubangan air di jalan, sekitar 3 meter jaraknya. Pagi itu juga tidak ada becak yang bisa diharapkan untuk menembus kubangan air setinggi mata kaki itu. Jalan satu-satunya adalah melewatinya dengan kaki sendiri. Dengan resiko kaos kaki, rok, dan sandal saya basah.

Seorang dari sekian bapak-bapak yang berdiri di dekat kubangan itu menyarankan saya untuk melepas kaos kaki dan sandal. Intinya saya harus nyeker. Dilema. Nggak mungin dong saya lepas kaos kaki sedangkan banyak bapak-bapak di sana. Kemudian saya memilih nekat. Maju terus. Bismillah… semoga Allah ridha dengan yang saya lakukan ini. Saya nggak mau aurat saya kelihatan orang lain. Toh saya bawa kaos kaki dua, dan sandal saya ini anti air. Hahaha.

Gerbang depan kompleks. Saya berdiri menunggu travel atau bis yang akan ke Palembang. Namun apa hendak dikata tidak ada satupun dari dua mobil itu lewat. Padahal kaki saya sudah mulai kedinginan. Ganti kaos kaki di depan gerbang. Jelas nggak mungkin. Sama aja bunuh diri.

Alternatif satu-satunya adalah ganti di kamar mandi stasiun. Sangat tidak memungkinkan untuk saya berganti kaos kaki di dalam travel atau bis. Ya, kan? Berarti saya harus bertahan dengan kaos kaki basah ini sekitar satu jam lagi. Itu hitungan paling cepat, bisa lebih lama lagi. Karena saya harus antri tiket kereta api. Padahal kepala saya sudah nyut-nyutan, dan perut saya sudah bernyanyi sejak tadi. Nggak apa-apa deh. Fight! Fight! Fight!

Eh, ada mobil lemabang lewat. Berhenti nggak jauh dari tempat saya berdiri. Akhirnya saya naik mobil itu. Duduk paling belakang. Sendirian pula. Penumpang satunya duduk disamping supir. Saya pun bisa ganti kaos kaki. Alhamdulillah.

Tiba di stasiun, para calo sibuk menawarkan tiket. Pilih jalur resmi aja ah! Eh, ada adik tingkat, salah satu anggota Himapura yang juga hendak pulang. Dia bersama dengan temannya dan bersedia mengantrikan tiket. Alhamdulillah, saya memang tidak sanggup mengantri karena kepala saya pusing. Banget. Plus laperrrrr.

Dapet tiket, nyari gerbong, nyari tempat duduk. Lama kemudian, Berangkat! Menuju bumi sebiduk sehaluan….

Awalnya saya nggak yakin bisa pulang karena hujan deras. Kemudian Allah mengabulkan doa saya. Banjir yang menghalangi jalanan kompleks. Kaos kaki basah, hingga bisa ganti kaos kaki di mobil. Ada yang bersedia mengantrikan tiket. Wah, akhirnya saya bisa pulang. Hehehe.

Berulang kali skenario Allah yang bermain. Skenario indah untuk hidup saya. Walaupun awalnya sering saya bertanya-tanya apa hikmah dibalik semua ini. Akhirnya saya menemukan hikmahnya. Menemukan pelajaran yang bisa diambil untuk hidup saya. Menambah wawasan saya. Semoga saya makin bijak dalam menyikapi hidup ini. Semoga kalian juga bisa mengambil pelajaran dari semua hal yang terjadi dalam hidup ini.

Percayalah seindah-indahnya skenario yang dibuat manusia, lebih indah skenario Allah. Karena Allah tahu apa yang terbaik untuk hidup kita. Jelas Allah yang paling tahu.

Allahu a’lam bish shawab…