Ahlan wa sahlan...

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Selasa, 31 Juli 2012

SURAT IBU UNTUK PARA AKTIVIS KAMPUS

SURAT IBU UNTUK PARA AKTIVIS KAMPUS

"Dimana rumahmu Nak?"

Orang bilang anakku seorang aktivis . Kata mereka namanya tersohor dikampusnya sana . Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.

Anakku,sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis .Dengan segala kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.

Anakku, kita memang berada di satu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini .Tapi kini dimanakah rumahmu nak? ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah,d engan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak, tapi bukankah aku ini ibumu? yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku..

Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu .Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?

Anakku,i bu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat disana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku..

Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana profesionalitasmu untuk ibu? dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat?

Ah, waktumu terlalu mahal nak. Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..

Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang,jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.

Sabtu, 07 Juli 2012

antara saya, kucing dan ular

Malam sabtu alias jum’at malam saat saya sedang mencoba untuk tidur, tepat di depan kos saya terdengar suara kucing berantem. Saya misuh-misuh. Lah itu kucing nggak tau diri banget dah. Gak tau apa yah kalo udah malem banget. Waktunya orang mau tidur tau.

Biasanya kalo ada kucing berantem saya akan bawa gayung yang berisi air terus disiram deh ke kucing-kucing itu. Hasilnya manjur banget. Kucingnya pada ngibrit semua. Gak jadi berantem, soalnya pada sibuk ngeringin bulu mereka yang basah. Kalo udah kering n ketemu lagi, ya berantem lagi. Hihihi. Jangan coba dekat-dekat ya apalagi sok mau misahin, ntar kamu yang malah dicakar mereka.

Saya yang udah siap-siap mau tidur, males buka pintu trus nyiram kucing-kucing gak tau aturan itu. Lumayan lama suara beratem kucingnya. Nah, sebenarnya saya ngerasa ada yang aneh dari suara kucing berantem itu. Kok suara kucingnya cuman satu alias solo. Biasanya duo atau trio. Lah ini kok cuma satu? Bawaan ngantuk jadi saya cuekin aja deh. Terserah.

Pagi-pagi pas buka pintu mo jemur pakaian, saya kaget. Kejutan untuk saya pagi itu adalah ular sepanjang 40 cm ada di tanah dekat pintu kos. Tubuh saya beku, jantung saya dag dig dug duer. Saya udah mau teriak aja manggil bapak kos. Eh sebentar, tu ular kok gak gerak-gerak yah? Saya perhatiin baik-baik, jangan-jangan udah mati.
Saya maju satu langkah, bener deh. Udah mati. Badannya aja udah dikerubutin semut merah. Saya alhamdulilllah berkali-kali. Hihihi. Hiperbola banget yah.

Karena tau udah mati baru deh saya berani mendekat. Hehehe. Saya perhatiin lagi itu ular. Kok gak ada tanda-tanda dipukul yah? Gak ada tanda-tanda bekas penganiayaan pake benda tumpul (gayanya sok jadi tim investigasi polisi). Hehe. Saya perhatiin lagi. Eh, ada luka-luka tuh, luka sobek. Kayaknya penganiayaan pake benda tajam nih—mulai ngelantur--. :p

Yuk, cari siapa pembunuhnya. Adoooohh... gak penting banget sih kerjaan saya pagi itu. Ngapain nyariin pembunuhnya toh ini ular juga gak dicariin sama orang tuanya. Buktinya gak ada laporan kehilangan anak tuh. (Makin gak jelas nih ngomong apaan. Hihihi.)

I have a suspect. Jangan-jangan yang bunuh ular ini kucing yang semalam. Tapi buat mastiin saya lapor sama bapak kos. Celingak-celinguk nyari Pak Mamat. Nah itu dia orangnya.

Saya : “Pak, Bapak ya yang semalam bunuh ular depan kamar Ami?”

Pak Mamat : “Ular? Bapak dak bunuh ular semalam.

Trus bapak liat mayat ularnya. Saya ngikutin dari belakang. Tuh benerkan bukan Pak Mamat yang bunuh. Kucing nih tersangkanya.

Pak Mamat : “Kucing mungkin ini yang bunuhnya. Bapak dak bunuh ular semalam.”

Saya : (ngangguk-ngangguk)

Dibuang deh ularnya sama Bapak ke kebun sebelah pagar. Dalam hati saya nih, “Maaf ya ular, saya gak bisa nguburin dengan prosesi yang layak.” –mulai lebay. Hehe—

Nah balik ke pembunuhnya nih. Gak tau kucing yang mana. Ada 3 kucing yang biasa berkeliaran di sekitar kos. Kucing abu-abu, jenisnya jantan. Yang kedua kucing kuning putih hitam, jenisnya betina. Yang ketiga kucing kuning putih, kayaknya sih anaknya si kuning putih hitam.

Kalo aja ketemu kucingnya, saya mo bilang makasih. Coba aja kalo gak ketemu tu kucing n gak berantem, mungkin ularnya malah silaturrahim ke kos saya. Ngajak ngobrol atau numpang tidur, di sepertiga malam bangunin saya trus ngomong, “Bangun cuy, shalat lail dulu.” Hahaha... ngayal terus....

Malemnya pas mau tidur, saya keinget untuk nutup bawah pintu kos dengan kain. Takutnya nih saudaranya si ular yang mati kemarin malem nyariin. Kan udah satu kali dua puluh empat jam, udah bisa lapor kehilangan. Hehe.

Dalam pikiran saya nih, saudaranya ular itu nyelinap dari bawah pintu trus nanya saya gini:

Saudaranya ular :”Liat saudara saya gak? Kemaren malem main ke sekitar sini. Katanya sih jalan-jalan. Tapi sampai sekarang gak pulang-pulang. Udah lapor kehilangan tapi belum ada hasil juga.

Nah kalo pertanyaannya gitu, saya mau jawab apa dong? Masa saya jawab gini, “Oh ada, tapi udah mati digigit kucing. Trus mayatnya dibuang Pak Mamat ke kebun sebelah. Cari aja deh di sono, siapa tau ketemu.”

Aduuuh, khayalan saya tingkat tinggi banget dah.

Well, saya bersyukur pada Allah ternyata Allah menyelamatkan saya dari ular itu, lewat hewan kesayangan saya, kucing. :)

#kangen bella, kangen juga sama Mamet, Umpil, Cat terutama YUI ^_^

Dakwah ini mengajariku banyak hal....

Dakwah ini mengajariku banyak hal. Itu yang pertama terlintas dibenak. Hmm... sepertinya bahasan kali ini berat nih. Hehe. :p

Percakapan yang lumayan panjang malam itu dengan seorang sahabat, membuatku mau tak mau mengingat kembali awal mula perjalanan panjang ini. Saat itu setelah percakapan kami berakhir, ia—via SMS--masih sempat menyuruhku beristirahat. Tapi ternyata tubuh ini masih menyimpan resahnya sendiri. Alih-alih istirahat saya malah menulis. Walau malam sudah mencapai separuhnya tapi mata ini tak jua bisa diajak kompromi.

Orang tua saya memberi nama Rahmi Dwi Hastuti. Tapi ternyata orang-orang di catatan sipil kreatif sekali. Saya yang waktu SD bangga dengan tiga akhiran i di belakang nama saya harus merelakan kata terakhir dari nama saya berakhiran y. Sempat protes juga pada Ibu kenapa saya yang lahir di bulan Mei harus menuliskan Juni di bulan lahir saya untuk pengisian biodata. Kesalahan akta kelahiran yang dibuat di capil. Sekarang jika ada yang bertanya tanggal lahir dengan iseng saya malah balik nanya, “Mau yang asli apa yang palsu?” Yang bertanya bengong mendengar pertanyaan saya. Hehe...

Saya lahir dengan embel-embel suku komering. Suku yang bagi banyak orang di Indonesia ini lekat dengan masalah kriminal. Banyak preman-preman di kota-kota besar dengan suku ini. Sisi positifnya jika bepergian keluar Sumatera Selatan, menggunakan bahasa Palembang atau bahasa komering biasanya aman dari aksi kriminal. Hihihi... Negatifnya orang-orang takut dengan kita, disangkanya bagian dari kawanan kriminal itu. Hadeeeh. Yah ada positif negatifnyalah.

Saya sempat menahan tawa dan terlihat aneh karena senyum-senyum sendiri, melihat seorang teman dalam perjalanan menuju Lampung. Saat itu kereta yang kami tumpangi berhenti di stasiun Martapura. Saat berhenti itu masuklah pengamen. Mendengar mereka bernyanyi sontak teman saya itu menarik kedua tangannya, dimasukkan ke dalam jilbab. Ia secara refleks menutup kedua telinganya dengan tangan. Setelah pengamen itu pergi, sambil geleng-geleng teman saya bilang, “Aih parah... nyanyi apa ngajak berantem sih pengamen tadi?” Tawa saya langsung meledak saat itu juga. Dengan senyum dikulum saya kemudian berkomentar, “Ya beginilah Martapura, yang kalian kira marah itu, sebenarnya mereka hanya ngobrol.”

Itulah mengapa saat pertama kali diterima di Unsri, saya sempat mengalami syok juga. Teman-teman dan kakak tingkat sibuk protes dan mengkritik nada suara saya yang katanya ‘terlalu tinggi’. Yang buat saya heran, kok teman-teman di Martapura gak ada yang protes dengan yang ‘terlalu tinggi’ itu. Seorang sahabat dengan bijak mengatakan, “Beda Mi. Di sana mungkin nada yang seperti itu dianggap biasa. Tapi di sini jadi luar biasa.” Dalam hati saya bilang, “Bisa jadi...”

Seorang teman yang juga dari Martapura pernah bilang begini, “Nah wong Martapura ni apalagi komering ga marah aja dikira marah. Apalagi marah jangan-jangan dikira mau bunuh orang.” Saya cekikikan mendengar komennya.

Bukan saya ingin membela suku sendiri sih. Saya lahir dan besar di Martapura. Baru merantau saat masuk kuliah. Notabenenya delapan belas tahun saya habiskan di Martapura. Kultur yang seperti itu sudah seperti mengakar di diri saya. Dan ternyata gak cuma saya yang seperti itu. Tengoklah saat anggota Himpunan Mahasiswa Martapura berkumpul kadang kala yang datang baru 3 orang tapi suaranya sudah hampir mencapai 10 orang. :)

Kadang kala saat ingin memperjelas sesuatu karena ada beberapa teman yang tak mendengar, saya mengeraskan suara. Teman saya langsung komen, “Iya tau. Gak usah marah-marah kale.” Jreeeeenggggg... saya langsung diem. Dalam hati saya nih, “Yah... salah lagi. Padahal niatnya mau bantu.” T.T

Saya jadi berpikir apa saya sebegitu buruknya? Akhirnya saya mengambil kesimpulan sendiri. Berarti masih ada dalam diri yang membuat saudara-saudara saya ini tak nyaman untuk berdekatan. Masih banyak perbuatan dan lisan ini yang menyakiti mereka, dan ternyata itu saya lakukan entah dengan sengaja atau pun tidak disengaja. Untuk semua yang pernah tersakiti hatinya oleh saya, saya memohon kemaafan dari kalian. :)

Lalu apa hubungannya dengan judul di atas?

Sejak saya bergabung di jalan dakwah ini membuat saya banyak berubah. Jika ditilik dari awal mula bergabung hingga sekarang, saya tak pernah menyangka akan berubah sampai sejauh ini. Perubahan itu signifikan sekali.

Pertama kali dapat penilaian dari orang lain hasilnya negatif. Terlalu banyak buruknya dari pada baiknya. Kertas hasil penilaian mereka yang banyak nilai merahnya untuk saya itu masih saya simpan hingga dua tahun yang lalu. Masih suka saya baca-baca untuk muhasabah. Dua tahun lalu seorang teman yang meminjam catatan saya menghilangkannya.

Dari itu mencoba introspeksi lagi, oh ternyata saya begini. Dan hal yang sampai sekarang masih sulit saya kendalikan adalah nada bicara saya. Masih ‘terlalu tinggi’ untuk ukuran saudara-saudara saya itu. Jika saya pulang ke Martapura dan naik angkot, nada suara saya yang sekarang gak cukup untuk bikin sopir angkot menghentikan laju mobilnya, alias gak denger saya minta berhenti. Atau paling tidak membuat Ibu harus mengulang panggilannya sekali lagi, karena tak mendengar saya menjawab panggilannya. Hehe...

Pernah terlintas dalam benak saya untuk jadi seperti mbak-mbak senior saya di kampus. Anggun dengan jilbabnya, lembut dan tampak tenang. Saya pernah mencoba seperti itu. Hasilnya saya merasa seperti membohongi diri sendiri. Saya merasa ada bagian dari diri saya yang hilang. Ini bukan wujud pembelaan diri karena tak mau berubah kearah yang lebih baik. Bukan. Sama sekali bukan. Saya hanya merasa itu bukan saya.

Akhirnya saya bukan berubah untuk jadi seperti mbak itu atau mbak ini. Saya mencoba untuk jadi saya sendiri, dengan catatan ya sisi negatif saya dihilangkan atau paling tidak diminimalisir. Saya ketawa sendiri mengingat sebuah buku yang pernah saya baca. Pengennya ngomong kayak gitu. Cuma kesannya kok kayak gak mau berubah ya. Hehe... Nih saya kutip tulisannya—dengan editan versi saya lho ini. “Ami ya begini ini, nerima syukur, nggak terima kebangetan.” #korban buku Parcel Mini La Tansa. Hihihi...

Kebersamaan ini mengajari saya banyak hal. Mengajari saya untuk lebih peka, lebih peduli dan lebih memahami. Mengajari saya meminta maaf atas kesalahan yang dibuat. Mengajari memaafkan saudara yang bersalah karena mereka bukan malaikat yang gak pernah salah. Kebersamaan ini mengajari saya mempelajari karakteristik mereka satu per satu, belajar dari mereka walaupun mereka tanpa sadar ngajarinnya ke saya. Mengajari untuk setiap hari berproses menjadi lebih baik lagi. Walau pun karakter saya yang galak itu agak sulit saya ubah. Mau bantu saya untuk berubah? Hehehe...

Saya terkenang dengan kisah antara Abu Dzar dan Bilal bin Rabah. Seperti yang dituliskan oleh Salim A. Fillah, di buku Dalam Dekapan Ukhuwah. “Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditunjukkan ke wajah kita seperti apa yang dilakukan Rasulullah saw kepada Abu Dzar. Lalu sebuah kesadaran menyentak, “Engkau! Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!”

Saya sadar masih banyak kekurangan saya. Mungkin masih banyak saudara-saudara di kehidupan ini yang belum mendapatkan perlakuan yang selayaknya dari saya. Mungkin masih banyak yang mengeluhkan sikap dan lisan saya.

Saya sadari itu. Dan saya membayangkan, pun jika Rasulullah saw di depan saya sekarang, pasti lisan yang mulia itu juga akan berucap hal yang sama. Sama seperti ucapan yang beliau tujukan untuk Abu Dzar. “Engkau! Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!”

Untuk saudara-saudaraku yang sempat bahkan sering terlukai hatinya karena lisan dan perbuatan saya, tolong maafkan saya. ^_^


Hijau 12, 01.25

Rahmi Dwi Hastuty