“Allah menyayangimu dengan cara-Nya. Kadang engkau merasa hidup tak adil. Engkau marah karena keadaan tidak berjalan sesuai dengan keinginanmu. Engkau kecewa atas apa yang terjadi dalam hidup. Engkau kadang mempertanyakan ke-Maha Agungan-Nya karena dunia tidak mengindahkanmu. Tapi percayalah teman, Allah sayang padamu. Dia mencintaimu dengan cara-Nya.”
Saya lupa tepatnya kapan SMS itu dikirim oleh teman saya. Harus diakui bahwa kadang kala saya juga mempertanyakan ke-Mahaan-Nya. Saya marah, sedih, kecewa karena merasa diperlakukan tak adil. Merasa layak untuk diperlakukan lebih dari itu. Astagfirullah… betapa saya telah berlaku ujub. Ya Allah, ampuni hamba…
Padahal nikmat Allah begitu banyak dicurahkan kepada saya. Dan saya jarang mensyukurinya. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?”
Allah memang menyayangi dengan cara-Nya. Saya mencoba mengingat kembali hal-hal yang telah terjadi. Ternyata skenario Allah untuk hidup saya itu indah. Sangat indah malah.
Saya memiliki keluarga yang luar biasa. Pertama kali memutuskan untuk mengenakan jilbab, tidak ada nada protes dari keluarga. Sedangkan teman saya ada yang ditentang keluarganya untuk memakai jilbab. Hingga saat kuliah, saya bergabung di tarbiyah, dan memutuskan untuk memperlebar jilbab saya. Keluarga saya juga tidak menentang.
Keluarga saya--terutama Ibu--yang menjadi garda terdepan dalam melindungi saya. Ya, melindungi. Melindungi dari serbuan keluarga besar yang menganggap aneh jilbab saya. Melindungi saya dari cercaan saudara saya yang lain karena menganggap jilbab saya kelebaran. (Padahal jika mereka memperhatikan lebih detail, maka mereka akan menemukan ada akhwat lain yang jilbabnya jauh lebih panjang dan lebar dari saya. Bahkan jilbab saya ini belum seberapa jika dibandingkan dengan jilbab mereka, hehehe). Serbuan dari berbagai pihak ini pernah membuat saya down dan hampir memperpendek jilbab saya. Alhamdulillah itu tidak terjadi. Hehehe.
Saya memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa pula. Sahabat yang menguatkan kala saya rapuh. Membantu berdiri kala saya jatuh. Saat saya butuh penguatan ada-ada saja yang mengirimi saya SMS tausiyah itu. Hampir selalu pas dengan kondisi saya saat itu. Alhamdulillah… Segala puji untuk-Mu, Ya Rabb….
“Tidaklah seorang hamba diberikan karunia yang paling baik keislamannya, melebihi saudara yang shalih. Bila dia lupa diingatkannya. Bila dalam kondisi sadar dengan ketaatan ia akan membantunya. Bila salah seorang kalian merasakan kasih sayang dari saudaranya, maka peganglah ia.” (Umar bin Khattab).
Ok, back to skenario indah itu. Maka tak ada lagi yang layak saya katakan selain syukur. Saya menemukan begitu banyak hal yang awalnya telah direncanakan, endingnya berbeda atau cara berlakunya yang berbeda. Walaupun ternyata itulah yang lebih saya butuhkan. Bahwa itulah yang menjadi pelajaran untuk saya.
Seperti kemarin saat itu selepas shalat zuhur di mushala perpustakaan pusat, saya melihat seseorang yang dari belakang mirip sahabat saya. Kenapa dari belakang? Karena posisinya saat itu sedang duduk membelakangi saya. Maka saya dekati. Ternyata benar sahabat saya.
Kami ngobrol sebentar dan memutuskan untuk makan siang di kantin kampus. Soalnya perut saya sudah “unjuk rasa” sejak tadi. Saya menunggunya shalat dulu, karena dia belum shalat. Setelah shalat kami naik satu lantai, ke ruang sirkulasi. Karena sahabat saya itu hendak meminjam buku, namun kartu perpus-nya ketinggalan. Hingga dia—karena begitu membutuhkan buku itu secepatnya—meminjam buku itu menggunakan kartu saya. Kebetulan saya memang tidak ada pinjaman di sana.
Nah, masalah terjadi saat hendak meminjam buku. Karena ternyata saya masih ada pinjaman. Padahal seingat saya semua buku yang dipinjam atas nama saya sudah semua dikembalikan—walaupun masih kena denda juga karena terlambat mengembalikan buku. Hehehe. Karena sudah hampir sebulan buku itu belum dikembalikan maka saya tidak diizinkan meminjam buku. O ow…
Di jalan menuju kantin, saya menelepon sahabat saya yang lainnya, yang kemarin meminjam buku menggunakan kartu saya. Katanya sudah semua dikembalikan. Bahkan sudah bayar denda pula. Nah lho, nggak mungkin sahabat saya ini berbohong. Kalau memang sudah dikembalikan kenapa kartu dari buku itu masih juga “nyangkut” di kartu saya? Siapa yang salah sebenarnya? Solusinya? Saya bingung. Akhirnya kami memutuskan untuk mengurusi masalah ini besok harinya.
Salah saya adalah tidak mengembalikan buku itu secara langsung. Saya karena ada satu dan lain hal memberikan kartu itu kepada sahabat saya, memintanya mengembalikan sendiri buku yang ia pinjam atas nama saya tersebut. Kemudian ia menyerahkan kartu itu. Selesai saya pikir. Karena jelas buku itu sudah dikembalikan. Kok malah jadi kayak gini??? Saya tambah bingung.
Besok harinya, setelah menyusun strategi—walaupun nggak yakin strategi itu berhasil—kami ke ruang sirkulasi. Strateginya adalah mencari lebih dahulu buku yang kemarin dipinjam. Logikanya jika kartu itu masih ada di kartu yang disimpan petugas perpus, maka tidak mungkin ada yang meminjam. Karena jelas kartunya tidak ada.
Lama kemudian sahabat saya menemukan buku itu. Ternyata kartunya ada. Kami berdua lemas. Bagaimana ini? sahabat saya berkata bahwa ia sudah searching, ternyata perpus hanya memiliki dua buku dengan judul ini, karena buku lama. Satunya yang kami pegang, lalu yang satunya lagi? Dipinjam orang lain?
Akhirnya masih ditengah kebingungan, sahabat saya menemukan buku yang pernah ia pinjam. Setelah meneliti buku itu dari kartu peminjaman, kami menemukan namanya. Setelah usut punya usut, meneliti lebih lanjut. Menganalisis lebih runut. (Kalau ingin diceritakan secara mendetail bakal panjang). Maka kami menyimpulkan kemungkinan itu kesalahan petugas perpus. Petugasnya lupa untuk mengembalikan kartu di kartu perpus saya ke buku tersebut. Karena pada hari itu ramai pengunjung perpus yang hendak mengembalikan buku.
Walaupun dengan ketidakyakinan, sahabat saya mencoba menghadap petugas dengan dalih hendak meminjam buku. Buku yang bermasalah itu. Walaupun kami jauh lebih tidak siap jika akhirnya didakwa dengan pasal penghilangan buku. Hahaha. Resiko mendapatkan cap buruk plus kena marah petugas. Waduh…. Pasrah. Hanya itu yang ada dalam pikiran kami saat itu. Kalau diminta ganti, yah terpaksa harus ganti. Walaupun itu judulnya “menzhalimi” kami. Jelas-jelas bukunya sudah dikembalikan kok.
Semula kami mengianggapnya begitu menakutkan, ternyata begitu mudah. Kakak petugas perpus begitu mudah diyakinkan dengan argumentasi yang memang telah lebih dahulu didiskusikan. Karena kami memang sebelumnya diskusi untuk meyakinkan bahwa itu bukunya! Tidak ada perang mulut. Perang argumentasi. Apalagi sampai pertumpahan darah, saudara-saudara. Halah, lebay banget!!
Rasa-rasanya kalau nggak malu, mau deh berdua jingkrak-jingkrakan. Saking senengnya. Hohoho. J. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Saya teringat kejadian sebelum idul adha. Saat itu saya sudah memutuskan untuk pulang ke rumah. Rencana sudah disusun dengan matang. Saya akan pulang hari jumat. Saat ibu menelepon dengan yakin saya mengatakan akan pulang hari jumat.
Hari H-nya. Saya terbangun pukul tiga, tepatnya tiga lewat berapa saya lupa. Saat itu hujan deras disertai petir. Bikin ngeri. Doa yang saya lantunkan setelah shalat seperti ini, “Ya Allah, jika Engkau ridhai perjalananku hari ini, tolong hentikan hujan ini.”
Hujannya memang reda tidak lama kemudian. Eh, menjelang subuh hujannya turun, lebih deras lagi. Saya hopeless. Wahhh, jangan-jangan nggak diridhoi. Jadi lemes. Jangan-jangan nggak diizinin pulang nih… hiks.. hiks.. T_T
Akhirnya doa saya bertambah menjadi, “Ya Allah, jika Engkau ridha maka tolong redakan hujan ini jam enam nanti.” Mengapa jam enam? Karena jam itu maksimal saya berangkat ke stasiun kertapati. Setengah enam alias 06.30, saya menatap hujan dari jendela. Masih deras plus mati lampu. Hrap-harap cemas. Mencoba menguatkan hati jika ternyata hujan masih juga deras jam enam nanti. Dan itu pertanda saya nggak bisa pulang kampung alias mulang tiuh.
Saya memutuskan untuk mandi dan mencuci baju. Walaupun dengan resiko tidak jadi berangkat. Mencoba tetap optimis. Ditambah dengan menyenandungkan doa itu berkali-kali. Hehehe. Hari sudah terang, hampir jam enam. Hujan masih turun. Saya makin kebat-kebit. Jadi nggak, jadi nggak. Pengen nangis…. Ibu, anakmu ini kayaknya nggak jadi pulang hari ini….
Alhamdulillah ternyata hujan reda, saudara-saudara! Jam enam, lewat dikitlah. Akhirnya saya berangkat. “Martapura, aku datang. Hohohoho” Berangkat dengan semangat 45. Walau akhirnya saya ternganga saat hendak melewati jalanan depan kompleks. Ada kubangan air di jalan, sekitar 3 meter jaraknya. Pagi itu juga tidak ada becak yang bisa diharapkan untuk menembus kubangan air setinggi mata kaki itu. Jalan satu-satunya adalah melewatinya dengan kaki sendiri. Dengan resiko kaos kaki, rok, dan sandal saya basah.
Seorang dari sekian bapak-bapak yang berdiri di dekat kubangan itu menyarankan saya untuk melepas kaos kaki dan sandal. Intinya saya harus nyeker. Dilema. Nggak mungin dong saya lepas kaos kaki sedangkan banyak bapak-bapak di sana. Kemudian saya memilih nekat. Maju terus. Bismillah… semoga Allah ridha dengan yang saya lakukan ini. Saya nggak mau aurat saya kelihatan orang lain. Toh saya bawa kaos kaki dua, dan sandal saya ini anti air. Hahaha.
Gerbang depan kompleks. Saya berdiri menunggu travel atau bis yang akan ke Palembang. Namun apa hendak dikata tidak ada satupun dari dua mobil itu lewat. Padahal kaki saya sudah mulai kedinginan. Ganti kaos kaki di depan gerbang. Jelas nggak mungkin. Sama aja bunuh diri.
Alternatif satu-satunya adalah ganti di kamar mandi stasiun. Sangat tidak memungkinkan untuk saya berganti kaos kaki di dalam travel atau bis. Ya, kan? Berarti saya harus bertahan dengan kaos kaki basah ini sekitar satu jam lagi. Itu hitungan paling cepat, bisa lebih lama lagi. Karena saya harus antri tiket kereta api. Padahal kepala saya sudah nyut-nyutan, dan perut saya sudah bernyanyi sejak tadi. Nggak apa-apa deh. Fight! Fight! Fight!
Eh, ada mobil lemabang lewat. Berhenti nggak jauh dari tempat saya berdiri. Akhirnya saya naik mobil itu. Duduk paling belakang. Sendirian pula. Penumpang satunya duduk disamping supir. Saya pun bisa ganti kaos kaki. Alhamdulillah.
Tiba di stasiun, para calo sibuk menawarkan tiket. Pilih jalur resmi aja ah! Eh, ada adik tingkat, salah satu anggota Himapura yang juga hendak pulang. Dia bersama dengan temannya dan bersedia mengantrikan tiket. Alhamdulillah, saya memang tidak sanggup mengantri karena kepala saya pusing. Banget. Plus laperrrrr.
Dapet tiket, nyari gerbong, nyari tempat duduk. Lama kemudian, Berangkat! Menuju bumi sebiduk sehaluan….
Awalnya saya nggak yakin bisa pulang karena hujan deras. Kemudian Allah mengabulkan doa saya. Banjir yang menghalangi jalanan kompleks. Kaos kaki basah, hingga bisa ganti kaos kaki di mobil. Ada yang bersedia mengantrikan tiket. Wah, akhirnya saya bisa pulang. Hehehe.
Berulang kali skenario Allah yang bermain. Skenario indah untuk hidup saya. Walaupun awalnya sering saya bertanya-tanya apa hikmah dibalik semua ini. Akhirnya saya menemukan hikmahnya. Menemukan pelajaran yang bisa diambil untuk hidup saya. Menambah wawasan saya. Semoga saya makin bijak dalam menyikapi hidup ini. Semoga kalian juga bisa mengambil pelajaran dari semua hal yang terjadi dalam hidup ini.
Percayalah seindah-indahnya skenario yang dibuat manusia, lebih indah skenario Allah. Karena Allah tahu apa yang terbaik untuk hidup kita. Jelas Allah yang paling tahu.
Allahu a’lam bish shawab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar