Setelah mencari sekian lama ketemulah kata-kata itu. Tangan ini pun lincah menari di keypad ponsel. Memilih nama-nama yang akan dikirimi SMS, kemudian send. Laporan terkirimnya menyusul kemudian.
Tak lama kemudian ponsel saya berdering. Ringtone SMS. Si pengirim SMS itu adalah salah satu dari sekian teman yang saya kirimi SMS. Isi SMS-nya kira-kira seperti ini, "Cara untuk mendapatkan hati yang bersih???"
Saya mencoba menjawab pertanyaan teman saya itu. Jawaban saya--kira-kira--begini (saya lupa tepatnya dalam menjawab SMS itu. Tapi secara garis besar begitulah isi SMS saya), "Salah satunya kalau dalam ESQ cara mengupayakan hati yang bersih itu dengan zero mind process. Dengan ZMP itu God spot kita akan bersih. Bebas dari belenggu-belenggu."
Kemudian teman saya bertanya lagi "God spot itu apa?"
Saya jawab saja, "Titik Tuhan."
SMS balasan masuk tak lama kemudian, eh beliau protes, katanya kalau hanya menerjemahkan dia juga bisa, yang diminta itu definisi dari God spot itu sendiri.
Yah, maaf. Maaf. Hehehe.
Sebelumnya sempat terlintas di pikiran saya, jangan-jangan beliau--sang pengirim SMS--mau ngerjain saya, sekedar ngetes sejauh mana pengetahuan saya soal mensucikan hati. Kemudian saya mencoba untuk ber-husnudzhan. Semoga perkiraan saya salah. Kalau pun benar ingin ngetes saya, awas aja ya!!! Gak bisa pulang ke Martapura lho tahun depan, 'ntar saya sweeping. Biar gak bisa masuk Martapura!! (Sadis nian euy... hehehe).
Oh iya hampir lupa, isi SMS saya itu seperti ini:
"Bila hati itu bersih maka ia akan mudah menerima kebenaran dan merasa ringan untuk melakukan kebaikan."
Maka untuk permulaan saya memutuskan merenungi isi SMS saya itu. Mengapa hati yang bersih dikaitkan dengan menerima kebenaran dan melakukan kebaikan? Memang jika hati kotor kita tidak akan melakukan kebaikan? Akhirnya berujung pada satu kata, bingung. Hehehe.
Dan karena bingung, saya mencoba untuk memikirkan satu persatu orang-orang shalih di zaman Rasulullah. Pikiran saya yang pertama jatuh pada sosok shalih itu, sosok yang malaikat pun malu kepadanya. Ya, sosok itu bernama Utsman bin Affan. Karena kejernihan hatinya beliau bisa membaca kemaksiatan yang tergambar dari wajah seseorang. Bagaimana dengan kita??? Malu rasanya bila berkaca dengan mereka.
Kembali saya mencoba merenungi isi SMS saya. Akhirnya saya temukan jawabannya. Korelasi antara hati yang bersih, menerima kebenaran dan melakukan kebaikan. Saat kita futur, berada pada titik lemah iman kita. Saat itu untuk melakukan suatu kebaikan pun terasa sulit. Malas untuk melangkah. Malas untuk berbenah. Malas untuk berupaya memperbaiki diri. Malas semualah pokoknya.
Dinasehati teman, terasa menggurui. Akhirnya malah jadi tersinggung. Menjauh dari komunitas, menjauh dari jamaah. Sehingga akan makin membuat terperosok pada kefuturan itu sendiri. Naudzubillah….
Baiklah, kita kembali pada pertanyaan teman saya saja. Saya mencoba mencarinya dalam buku ESQ, tapi tidak ada penjelasan yang terperinci mengenai apa itu God spot. Maka saya mencoba menyimpulkan sendiri makna God spot berdasarkan pemahaman saya. Maaf jika ternyata kesimpulan saya ini tidak sesuai dengan pemahaman teman-teman yang pernah mengikuti atau terlibat langsung dalam training ESQ. ^_^
Pada ESQ model, lingkaran ke dalam (God spot) terletak pada dimensi spiritual (SQ) atau berada dalam alam bawah sadar kita. Lingkaran pada dimensi emosi (EQ) dan dimensi fisik (IQ) harus berada pada garis edarnya dan mengorbit pada Titik Tuhan (God spot). Seperti gerakan galaksi Bima Sakti (Milky Way), gerakan atom (Bohr), atau gerakan jamaah haji mengelilingi Ka’bah. Semua berthawaf. Tuduk pada sifat-sifat Tuhan. Konsep ini dinamakan God Sentris yaitu berpusat pada SQ.
Gambar : ESQ model
The ESQ Way 165 :
1 (satu) hati (value) yang ihsan pada God spot
6 (enam) prinsip moral berdasarkan rukun iman
5 (lima) langkah sukses berdasarkan rukun islam.
God spot sendiri didasarkan pada suara hati yang universal. Bahwa manusia siapa pun dia, agama apa pun yang dianut, bagaimanapun baik buruknya, mereka sebenarnya memiliki suara hati yang sama. Suara hati yang didasarkan pada Asma’ul Husna. Suara hati yang akan sama dirasakan oleh manusia di seluruh dunia. Dan inilah yang disebut dengan anggukan universal.
Bahwa setiap manusia sebelum dilahirkan telah membuat perjanjian dengan Allah. Mengakui bahwa Allah-lah Tuhan mereka yang satu. Tidak ada Tuhan selain Dia. Saat ia lahir maka orang tuanyalah yang membuat dia menjadi pemeluk islam, nasrani dan sebagainya.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan Bani Adam keturunannya dari sulbinya, dan menyuruh mereka bersaksi terhadap dirinya sendiri (atas pertanyaan), ‘Bukankah aku Tuhanmu?’ Mereka manjawab, ‘Ya, kami bersaksi!’ (Yang demikian itu) supaya jangan kamu berkata di hari kiamat, “Kami tiada mengetahui hal ini.” (QS. Al A’raaf : 172)
Setiap diri dikarunia oleh Allah sebuah jiwa. Dengan jiwa itu ia bebas menentukan pilihan. Untuk berhenti di persimpangan-persimpangan yang kecil atau berhenti di persimpangan yang besar. Memilih antara kebaikan dan keburukan. Memilih untuk bereaksi positif atau negatif. Melanjutkan atau berhenti. Sabar atau marah. Sehingga kitalah yang menjadi leader bagi diri kita. Bukan orang lain ataupun lingkungan kita. Kitalah aktornya, aktor untuk hidup kita. Kita pula lah yang menjadi penanggung jawab atas sikap yang telah kita ambil.
Dorongan suara hati itu misalnya saat hendak melakukan keburukan maka suara hati nurani akan melarangnya. Begitu berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani, maka ia akan menyesalinya. Namun adakalanya suara hati terbelenggu dan “buta”. Buta untuk melihat nilai-nilai universal itu. Seringkali kita mengabaikan suara hati yang akhirnya mengakibatkan terjerumus ke dalam kejahatan, kecurangan, kekerasan, kerusakan, dan lain-lain.
Saat manusia begitu dekat dengan Allah. Maka dititik itulah kita akan mampu melihat segala sesuatu dengan lebih bijak. Kecerdasan spiritual kita terasah. Seperti Utsman bin Affan yang bisa membaca wajah orang yang maksiat. “Hati-hati dengan firasat orang mukmin, sebab ia melihat dengan nur Allah.” Lalu, bagaimana dengan kita? Astaghfirullah… Mari perbaiki diri.
Hati yang terbelenggu yang menyebabkan kita “buta”. Buta dalam membedakan kebaikan yang ikhlas dengan kebaikan karena mengharapkan pujian dari orang lain. Buta karena merasa diri jauh lebih baik dari orang lain. Buta karena terlalu asyik berprasangka negatif pada saudaranya.
Dalam ESQ untuk menjadikan kita bisa “melihat” lebih jelas, bersikap lebih tegas maka kita harus mengembalikan manusia pada fitrahnya, pada God spot-nya. Dengan demikian manusia mampu melihat dengan mata hatinya. Mampu memilih, memilah dan memprioritaskan pilihan yang benar sesuai dengan suara hati. Sesuai dengan tuntunan dari Ilahi Rabbi.
Pembersihan God spot disebut Zero Mind Process. Zero Mind Process (ZMP) adalah pembentukan hati dan pikiran yang jernih dan suci. Kemerdekaan berpikir akan melahirkan pribadi-pribadi kreatif, berwawasan luas, terbuka, fleksibel, mampu berpikir jernih dan God spot yang kembali bercahaya (Ari Ginanjar Agustian, ESQ, hlm.83).
Gambar: Zero Mind Process
Hasil akhir dari ZMP adalah melahirkan suara hati ilahiah. Sehingga kita akan menjadi orang yang merdeka. Orang yang bebas dari prasangka-prasangka negatif, prinsip-prinsip hidup yang salah, pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, egoisme kepentingan, pembanding-pembanding yang subyektif dan belenggu-belengu fanatisme yang menyesatkan.
God spot menjadi pusat orbit dari keseharian hidup kita. Suara hati manusia adalah kunci spiritual karena ia adalah pancaran sifat-sifat Ilahi. Ketika jiwa manusia mengangguk, mengakui Allah sebagai Tuhan-nya maka saat itulah sifat-sifat Tuhan yang suci dan mulia muncul dari dalam God spot-nya dan dari situlah kecerdasan spiritual bermula. Anggukan yang membenarkan suara hati yang didasarkan pada Asma’ul Husna itu terus berjalan dan bisa dirasakan kecuali jika hati dalam keadaan tertutup. Untuk itulah manusia harus mencapai titik zero dan terbebas dari belenggu-belenggu pikiran (Agustian, hlm.86-87).
Karena dosa itu membelenggu. Keburukan yang kita lakukan itu tanpa kita sadari telah membuat kita jauh dari Allah. Dibutuhkan kejernihan hati sebelum mencari dan menemukan kebenaran. Kebenaran yang sesuai dengan kehendak Allah, Sang Pencipta.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”
Allahu a’lam bish shawab…
Referensi:
1. Al Qur'an
2. ESQ, The ESQ Way 165, Ary Ginanjar Agustian.
3. The Way to Win, Solikhin Abu Izzudzin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar