Ahlan wa sahlan...

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Sabtu, 06 November 2010

Duka Tanah Kita....

Kala bencana datang melanda
Porak poranda tanah kita
Semua orang terhentak ingin bertanya
Mengapa terjadi? mengapa?
Mengapa terjadi? mengapa?

Tangisan derita menyayat jiwa
Kezhaliman mengungkung masa
Apakah kebenaran telah binasa?
Mengapa terjadi? mengapa?
Mengapa terjadi? mengapa?

*Nafsu angkara murka
Telah gelapkan manusia
Merebak gulita lenyapkan cahaya
Tibalah azab bencana

Telah nampak nyata, kerusakan di dunia
Karna perbuatan tangan keji manusia
Bencana dan peperangan makin merajalela
Hanya pada Mu Tuhan kami mohon perlindungan.
(Duka Tanah Kita, Justice Voice)

Duka tanah kita. Tepat memang judulnya dengan kondisi Indonesiaku saat ini. Pertiwi pun menangis lagi. Menangis melihat Wasior nun jauh di Papua sana terendam banjir. Menangis melihat penduduk di lereng Gunung Merapi yang tunggang langgang menyelamatkan diri. Menangis melihat Mentawai yang luluh lantak diterjang tsunami.

Saya tidak akan mengomentari bagaimana penanganan bencana —yang kata banyak media— begitu lambat. Begitu lambat untuk sampai ke Mentawai, Wasior dan Merapi.

Di saat keadilan, kesejahteraan dan keamanan adalah barang mahal dan mungkin hampir hilang di negeri ini. Saat kebutuhan pokok melambung tinggi, meroket yang akibatnya mencekik rakyat miskin. Saat para pejabat negeri ini sibuk dengan pencitraan diri. Saat para wakil rakyat sibuk plesir ke luar negeri. Saya melihat sesuatu yang ternyata tidak hilang dari rakyat negeri ini. Empati. Kepedulian terhadap sesama penduduk negeri yang bernama Indonesia. Indonesia memang mendapat cap sebagai negara yang tingkat korupsinya gila-gilaan. Namun, kepedulian itu masih ada.

Masih banyak rakyat yang peduli melihat saudaranya yang menangis kehilangan sanak keluarga dan harta benda. Masih banyak yang peduli melihat saudaranya tidur berjejalan dan kedinginan di tenda pengungsian. Hingga bantuan selimut berdatangan dari penjuru negeri. Masih banyak yang peduli melihat mereka yang kelaparan di barak pengungsian, hingga bantuan makanan itu juga mengalir ke mereka yang tengah berduka.

Saya pernah menangis dan ternganga saat tsunami menerjang Aceh tahun 2004 silam. Menangis melihat begitu banyak korban yang jatuh baik yang meninggal, luka-luka baik itu luka ringan maupun yang berat, kehilangan sanak keluarga. Ternganga melihat begitu banyak orang yang rela menyisihkan harta mereka untuk Aceh. Saya ingat betul hari itu saat SMA, setelah upacara bendera hari senin, diumumkan bahwa sekolah menerima sumbangan untuk tsunami Aceh.

Antrian panjang yang mengular mulai terbentuk. Teman-teman, kakak-kakak serta adik-adik kelas banyak yang menyisihkan uang jajannya hari itu untuk disumbangkan. Begitu juga dengan guru-guru. Ternyata banyak sekolah hari itu juga melakukan hal yang sama dengan sekolah kami. Seorang teman saat saya tanya mengapa memberikan semua uang jajannya hari itu. Dia menjawab seperti ini, “Mi, aku memang tidak jajan hari ini. Besok masih bisa jajan. Tapi orang di Aceh sana apa masih bisa jajan seperti aku?”

Terkenangku pada gempa di Padang tahun lalu. Gempa yang meluluhlantakkan Padang. Saat itu teman-teman kampus saya banyak yang turun menjadi relawan di sana. Berangkat penuh semangat demi meringankan beban warga Padang.

Seberat apapun musibah yang melanda Indonesia. Masih ada—banyak bahkan—nurani-nurani yang terketuk, terpanggil untuk membantu. Bantuan yang diberikan mungkin tidak seberapa. Namun sungguh berarti bagi yang dilanda musibah. Karena kepedulian, bantuan dan uluran tangan penuh kasih itu menjadi penguat kala rapuh mendera. Walaupun kekuatan yang paling penting adalah IMAN.

Indonesia memang menangis. Indonesia memang berduka. Indonesia pun menjerit menahan pilu yang mendera rakyatnya. Ya, Indonesia memang pantas berduka mengingat bencana yang datang bertubi-tubi. Namun masih ada tangan-tangan yang akan menghapus airmata itu. Merengkuh mereka dalam pelukan hangat penuh cinta atas nama persaudaraan. Masih ada tangan yang akan menggenggam tangan-tangan rapuh itu untuk saling menguatkan. Percayalah. Harapan itu masih ada!

Kini media disibukkan dengan Wasior yang masih saja terendam banjir. Mentawai yang belum juga mendapat suplai bantuan. Merapi yang terus saja “batuk”, memuntahkan lahar, abu vulkanik yang menurut berita terakhir hingga ke Jawa Barat dampaknya.

Hingga kini bantuan terus datang dari berbagai penjuru negeri. Untuk meringankan beban mereka yang dirundung duka. Semoga senyum anak bangsa ini akan kembali terukir setelah duka berkepanjangan mendera negeri. Amin.

Saya juga mengacungkan dua jempol untuk kinerja TNI. Menjadi garda depan dalam penyelamatan dan tanggap bencana. Saya melihat–lewat tivi, hehehe--bagaimana mereka berjibaku untuk menyelamatkan warga Wasior yang dilanda banjir. Memberi bantuan untuk korban bencana gempa dan tsunami di Mentawai. Dan, berupaya mengevakuasi warga dan korban meninggal akibat muntahan Merapi.

Masih begitu banyak rakyat Indonesia yang peduli pada saudaranya setanah air. Masih banyak. Harapan itu jelas masih ada. Masih ada. Masih dan akan selalu ada!

Saya terkenang pada satu program yang waktu itu di-launching oleh sebuah lembaga amil zakat. Kembalikan Senyum Anak Bangsa (KSAB). Teringat akan duka Indonesia, semoga senyum anak bangsa ini akan kembali. Semoga… Kabulkan, Ya Rabb…

Kembali saya teringat dengan SMS yang dikirim oleh sahabat saya:
“Semoga Allah memberi pelangi disetiap badai. Memberi senyuman disetiap airmata. Dzikir lembut disetiap hela nafas. Memberi kebaikan disetiap kehidupan. Memberi berkah disetiap cobaan. Dan, memberi jawaban indah disetiap doa-doa kita. Amin.”

Setidaknya banyak hikmah yang bisa diambil dari musibah yang datang bertubi-tubi ini. Saya sendiri menghaturkan beribu syukur pada Allah karena berada ditempat yang aman—insya Allah. Saya masih bisa makan enak. Masih bisa tidur nyenyak tanpa takut akan adanya gempa susulan, banjir bandang ataupun abu vulkanik yang akan merusak sistem pernafasan. Saya masih bisa beraktivitas seperti biasa. Kesana sini dengan nyaman—walaupun kadang was-was juga takut copet dan maling, hehe.

Setidaknya bila dibandingkan dengan pengungsi Mentawai, Merapi dan Wasior, saya jauh lebih beruntung. Jauh sekali. Alhamdulillah…. Syukurku pada-Mu, Duhai Sang Maha Melindungi.

Bukan maksud saya untuk tertawa diatas penderitaan saudara-saudara saya yang berada di pengungsian, saudara-saudara saya yang menjadi korban bencana alam itu. Tapi saya mencoba untuk mensyukuri nikmat yang ada pada saya. Mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah untuk saya. Karena manusia kadang kala—sering bahkan—melupakan nikmat yang telah diberikan Allah. Astaghfirullahal ‘adzhim…. Ampuni kami, Ya Rabb.

Dan kembali saya terkenang pada sosok mulia itu, sosok yang hingga kini hanya bisa saya telusuri lewat sirah nabawiyah. Rasulullah, Muhammad. Beliau telah mengajarkan agar disetiap musibah yang melanda hendaknya kita mengucapkan ucapan yang baik, yaitu innaalillaahi wa innaailaihi raajiuun. Mengembalikan semuanya kepada Allah. Singkatnya dari Allah kembali ke Allah (Kok, seperti judul lagu nasyid ya? hehe.)

Begitu banyak harapan di negeri yang gelarnya gemah ripah loh jinawi dan zamrud katulistiwa ini. Semoga Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. ^_^

Ya Rabb, lindungi saudara-saudara kami yang kini tertimpa bencana….
Kuatkan mereka, Ya Aziz….
Tegarkan mereka, Ya Rahman….

Teringat akan doa ma’tsur yang sering dibaca pagi dan petang, Doa yang ada dalam surat kedua dalam Al Qur’an, yang artinya:
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Wahai Tuhan kami, jangan Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimanaEngkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang kami tidak sanggup memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkau pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir. (Al Baqarah : 286)

Harapan itu masih ada!!
Saatnya kembalikan senyum anak bangsa!

Allahu a’lam bish-shawab.

Sarjana B. 18, 5 November 2010.
20.35

“Rahmi Badar”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar