Ahlan wa sahlan...

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Selasa, 19 Oktober 2010

Almamatermu vs Almamaterku

Sebenarnya wacana ini sudah lama bergulir diantara kami. Antara saya dan dua teman. Setamat SMA, kami bertiga diterima di universitas yang berbeda. Saya sendiri diterima di Universitas Sriwijaya (Unsri). Seorang lagi di Universitas Andalas (Unand) dan yang satu lagi terdampar di IPB. Hihihi.

Teman saya di Andalas yang pertama kali membuka wacana ini. Saat kumpul-kumpul lebaran adalah saat yang selalu jadi arena debat yang sengit antara saya dan dua teman saya itu. Khususnya teman saya yang kuliah di Andalas. Seiring berlalunya waktu, saya pikir masalah itu pun juga akan terlupakan. Biarlah mengendap begitu saja. Namun harapan tinggal harapan, karena teman saya ini sepertinya senang sekali mengulasnya kembali. Dalam hati saya berfikir, “Kok ya nggak capek-capek membicarakan hal ini terus?”. Saya aja bosan!

Terakhir saat kami berbincang via telepon, lagi-lagi ia mengungkit masalah yang sama. Dia mempermasalahkan mengapa banyak orang-orang hanya berfikir untuk melanjutkan kuliah di Palembang dan Lampung. Tidakkah terpikir oleh mereka untuk melanjutkan kuliah keluar Sumatera Selatan dan Lampung? Dan, akhirnya membanding-bandingkan antara Unsri dan Unand. Membandingkan grade Unand yang jauh diatas Unsri. Membandingkan bahwa lulusan Unand—yang kata teman saya—80% sudah diterima bekerja dibandingkan lulusan Unsri. Dan masih banyak lagi yang ia katakan.

Saya tidak menyalahkan pendapat teman saya tersebut, namun tidak pula membenarkan. Mungkin di satu sisi ia benar, namun di sisi lain ia salah. Ya kan?? Setiap orang memiliki alasan yang berbeda-beda dalam memilih universitas. Karena alasan jarak, keuangan ataupun kualitas universitas itu sendiri.

Saya hanya mencoba berfikir ulang dengan lebih mendalam. Mencoba merenungi lebih jauh. Mencoba berfikir lebih jernih. Akhirnya timbul pertanyaan dalam diri saya.
Benarkah sukses atau tidaknya seseorang itu tergantung dari asal almamaternya?
Benarkah sukses tidaknya seseorang ditentukan dari universitas mana ia mendapatkan titel?
Benarkan lulusan dari universitas yang grade-nya jauh lebih rendah tidak akan sukses meniti karirnya?
Benarkah lulusan dari universitas yang grade-nya tinggi akan lebih sukses dari lulusan universitas yang grade-nya rendah?

Masih banyak benarkah-benarkah lainnya yang memenuhi kepala saya, meminta jawaban secepatnya. Sepertinya agak berlebihan ya??? Hehe.

Dan, akhirnya saya temukan jawaban dari masalah ini. Jawabannya ada dalam buku ESQ yang ditulis oleh Bapak Ari Ginanjar. Ternyata kita sering terjebak pada belenggu-belenggu yang ada pada diri dan lingkungan kita. Kita sering kali terjebak pada tujuh belenggu yakni prasangka negatif, prinsip-prinsip hidup yang salah, pengalaman yang membelenggu pikiran, egoisme kepentingan, sudut pandang, pembanding-pembanding yang subyektif serta fanatisme yang menyesatkan. Hal inilah yang mempengaruhi cara seseorang dalam menyikapi suatu masalah.

Dari tujuh belenggu itu saya mengambil dua belenggu yaitu sudut pandang dan pembanding. Sering kali kita membandingkan sesuatu dengan pengalaman sebelumnya dan konsep yang kita pikirkan sendiri. Begitu juga dengan orang lain. Kita membandingkan sesuatu berdasarkan pembanding yang sangat subyektif. Berdasarkan pada kacamata kita sendiri. Mengukur orang lain dan sesuatu itu dengan baju kita sendiri. Hingga kita terjebak pada hal yang picik menurut saya.

Ini adalah keyakinan saya pribadi, bahwa “SUKSES TIDAKNYA SESEORANG TIDAK DITENTUKAN DARI ALMAMATERNYA.”

Sukses tidaknya seseorang tidak ditentukan darimana ia mendapatkan titel tersebut. Karena setiap orang memiliki potensi untuk sukses. Setiap orang memiliki potensi untuk maju. Semua itu kembali lagi ke kita, mau atau tidak mengambil momentum untuk meraih kesuksesan.

Picik rasanya jika memandang sukses atau tidak seseorang dari lulusan mana ia berasal. Tidak adil rasanya jika menilai orang lain hanya dari tampilan luarnya. Karena, begitu banyak orang yang luar biasa dengan penampilan yang sangat bersahaja.

Sekarang ini menjadi tidak penting membahas lulusan dari universitas mana. Yang paling penting adalah ilmu yang didapat selama menempuh pendidikan. Apakah ilmu itu bisa kita terapkan dalam kehidupan atau tidak. Apakah ilmu itu mampu menjadi amal jariyah yang akan menjadi penerang di alam kubur atau tidak. Ataukah ilmu itu malah akan menjadi cambuk yang akan mengantarkan kita pada sakitnya siksa kubur dan panasnya neraka.

Yang jadi persoalan itu seberapa bermanfaat kita untuk umat ini. Percuma rasanya jika titel yang ada di depan dan di belakang nama kita begitu banyak namun tak sesuai dengan kelakuan. Orang-orang merasa jauh lebih aman jika berada jauh dari kita. Kehadiran kita tidak pernah diharapkan. Bahkan orang-orang merasa gembira dengan ketiadaan kita di sekitar mereka. Na'udzubillah….

Tanpa perlu mempermasalahkan lulusan dari mana dan seberapa bergengsi universitas yang menaungi kita selama ini. Marilah berfikir dan bertindak untuk menerapkan ilmu yang di dapat selama ini demi kesejahteraan umat. Karena telah lama rakyat “dijajah” oleh bangsanya sendiri. Lihatlah, begitu banyak orang pintar di negeri ini. Namun pada kenyataannya tega membodohi saudaranya sendiri. Begitu banyak orang dengan titel yang berjejer di depan dan belakang namanya, namun sanggup menikam saudaranya.

Sudah terlalu lama rakyat negeri ini dibodohi. Bangkitkan kesadaran untuk melawan. Jangan hanya diam membisu. Jangan hanya jadi penonton. Jadilah pelaku sejarah. Jangan pernah berharap balasan dari manusia. Biarlah Rajanya manusia yang akan membalas jerih payah kita selama ini.

Sekarang, masihkah perlu membahas dari universitas mana gelar itu kita dapat? Saya fikir itu sudah tak penting lagi!

Mengutip kata-kata dalam buku Happy Ending Full Barokah: “Belajar bukan sekedar “mengisi diri” dengan koleksi ilmu tetapi bagaimana setiap ilmu yang kita miliki, penelitian yang dilakukan, jabatan yang dipikul, amanah yang diemban, bisa menjadi kebaikan yang mensurgakan. Membuat kebijakan yang melahirkan kebajikan.”

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”

Allahu a’lam bish shawab…



B. 18, 12 Oktober 2010
13.21
Radisty

2 komentar:

  1. setuja bibik amik, yang penting itu bagaimana kita mengamalkan ilmu, aplikasi dlm kehidupan bkan skedar teori n gengsi....

    BalasHapus
  2. betul itu!

    soalnyo bosan aku diajak debat yang samo itu2lah. cak dak ado topik debat yang lain lagi bae.

    biar gek mun diajak debat, suruh liat blog aku bae. abis itu baru nak komen, yo lajulah. hahaha.

    tetap bae buk, aku da pacak dipakso. lah punyo jalan pandang dewek.
    hehehe.
    ^_^

    BalasHapus